content top

Menerobos Batas Tafsir Misoginis

*Oleh: Yusli Effendi

KETIDAKADILAN terhadap perempuan tidak hanya menimpa hak-hak sosialnya -seperti hak ekonomi dan reproduksi-, namun juga hak-hak politiknya. Sayangnya, penafsiran teks-teks agama yang diskriminatif terhadap perempuan justru meminggirkan pesan keagamaan bahwa agama memberikan pesan kepada manusia tentang keadilan. Dan, meniadakan keadilan gender berarti menafikan keadilan bagi semua orang.

Membongkar segala sesuatu yang berlawanan dengan kesederajatan merupakan prinsip utama dari pemikiran soal perlu adanya reinterpretasi teks-teks agama. Ibarat pisau bermata dua, selain ingin menggali kembali gambaran tentang ketuhanan dan kitab suci, hal tersebut merupakan upaya untuk lebih memahami bahwa masih ada penindasan terhadap perempuan dari perspektif agama.

Para teolog feminis menilai bahwa kitab suci tak lepas dari bias gender. Hal itu disebabkan budaya patriarki telanjur mendarah daging lebih lama sebelum agama-agama lahir. Karena itu, tak ada satu pun agama yang tak patriarkis (Syu’bah Asa, 2000: 102).

Warisan Kosmonologi Arab

Masyarakat mengembangkan tradisi teologi yang melegitimasi inferioritas perempuan. Laki-laki secara hierarkis berada di atas perempuan karena (penafsiran) agama menganggap demikian. Padahal, pandangan misoginis (membenci perempuan) itu justru merupakan kehendak laki-laki. Agama kemudian dijadikan dalil untuk melanggengkan konsep patriarki.

Tradisi keagamaan yang berkembang kemudian di masyarakat sarat dengan bias gender. Keberadaan dan peran perempuan didefinisikan sebagai the second creation dan the second sex, yakni substansi kejadian perempuan merupakan subordinasi dari tulang rusuk Adam yang diciptakan untuk melengkapi hasrat keinginan laki-laki (Nasaruddin Umar, 1999).

Warisan psikologis tersebut begitu lama mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Sehingga, alam bawah sadar sebagian besar perempuan merasakan tak perlu lagi ada yang patut dipersoalkan. Padahal, sesungguhnya, terdapat berbagai praktik keagamaan yang mengadopsi kosmonologi misoginis dunia Arab.

Asumsi teologis dan sudah menjadi asumsi budaya yang sering memojokkan perempuan adalah pertama, penciptaan Hawa (perempuan) dimaksudkan untuk melengkapi hasrat laki-laki (Adam) di surga. Kedua, substansi kejadian perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki. Dan, ketiga, akibat godaan perempuan, terjadi drama kosmos yang menyebabkan jatuhnya manusia ke bumi.

Asumsi tersebut sesungguhnya bermula dari penafsiran kitab suci. Dalam paham Kristiani yang paling jelas adalah Kitab Kejadian (2): 21-23. Pasal ini sering dihubungkan dengan Alquran surat an-Nisa’ (4): 1 yang diartikan sebagai berikut: "Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya".

Menurut Nasaruddin Umar (1999), kedua ayat tersebut tak cukup kuat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa Hawa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk. Kisah-kisah israiliyyat yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat tersebut sarat dengan mitos yang tidak saja tak mencerahkan, namun juga memojokkan. Laki-laki digambarkan setengah Tuhan, sedangkan perempuan setengah iblis.

Tafsir Hegemonis

Ironisnya, negara juga turut andil dalam peminggiran peran perempuan. Perhatikan terjemahan Depag saat menafsirkan makna kata qowwamun dalam QS an-Nisa’ (4): 34. Kata tersebut diartikan sebagai "pemimpin" yang berkonotasi struktural. Padahal, kata itu biasa diartikan sebagai pendamping, pemelihara, atau penanggung jawab yang berkonotasi fungsional.

Kata "pemimpin" dalam bahasa Indonesia tak identik dengan qawwamunah dalam bahasa Arab. Terjemahan tim Depag itu kemudian menjadi tafsir hegemonis -meminjam istilah Gramsci yang menggarisbawahi mengguritanya "tangan-tangan" negara ke ranah rakyat- dan telanjur melekat dalam memori kolektif masyarakat.

Bandingkan dengan terjemahan Yusuf Ali yang menerjemahkannya dalam bahasa Inggris, men are-protectors and maintainers of women (lelaki adalah pelindung dan pemelihara perempuan). Dalam lanjutan ayat tersebut yang membahas soal nusyuz (pendurhakaan) istri terhadap suami, tim penerjemah Depag mengartikan idlribuuhunna dengan "pukullah mereka".

Pengertian itu tidak salah. Tetapi, kata tersebut tak mesti diartikan demikian. Lisan al-Arab (Ibn Mandhur, 1990), kamus Arab paling standar saat ini memberikan pengertian dlaraba sebagai melerai (kaffa), bersetubuh (nakaha), mencampuri (khalatha), menjelaskan (bayyana, washafa), dan menjauhi (ba’ada). Beberapa pengertian dlaraba tersebut mungkin akan lebih tepat digunakan daripada arti "memukul" yang riskan dimanfaatkan suami untuk bertindak keras terhadap istrinya.

Hermeneutika Feminis Quran

Atas dasar itu semua, kita perlu merekonstruksi penafsiran (hermeneutika) kita atas dalil agama. Menurut Budhy Munawwar-Rachman (1996), ada tiga kata kunci untuk hal tersebut, yakni representasi (dari Lyotard), dekonstruksi (dari Derrida), dan keterkaitan pengetahuan-kekuasaan (dari Foucault).

Pertama, representasi penafsiran teks agama merupakan segala hal yang terkait dengan citra, ide, gambaran, narasi, visual, dan produk-produk keilmuan yang meminggirkan posisi perempuan. Sebagai representasi teks yang tak berkarakter natural (kodrati), representasi merupakan hasil konstruksi kultural.

Kedua, telaah kritis terhadap teks-teks agama berarti kita telah melakukan pembongkaran besar-besaran (yang disebut Derrida sebagai dekonstruksi) terhadap teks tersebut.

Ketiga, diskriminasi terhadap perempuan itu bisa dipahami karena adanya keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan. Sebab, setiap pengetahuan (teks, representasi) merupakan kekuasaan. Tak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan. Yang ada justru sebaliknya, yakni kekuasaan selalu berkaitan langsung dengan kepentingan. Dan, dalam konteks ini, kepentingan laki-lakilah yang muncul.

Berangkat dari pemikiran tersebut, gerakan hermeneutika feminis Quran kemudian lahir untuk membebaskan ketertindasan perempuan dari sistem yang patriarkis dan androsentris itu. Gerakan yang merupakan dampak dari pembaruan pemikiran Islam sejak abad ke-18 tersebut terutama dipelopori oleh Amina Wadud dan Riffat Hassan.

Perumusan hermeneutika feminis Quran tersebut dimulai pada awal ’90-an saat Amina menerbitkan buku Qur’an and Women (1992). Meski metodologinya dipengaruhi Fazlur Rahman, dia tak begitu saja memungutnya. Beberapa pembaruan yang tipikal feminis membuatnya berbeda dengan pendahulunya itu (Nur Ikhwan, 2000).

Namun, upaya tersebut juga ditentang sebagian sarjana muslim dengan menuduhnya sebagai pengaruh metodologi Barat yang sekuler, bahkan biblistis. Dalam batas tertentu, tuduhan itu memang bisa dipahami. Sebab, dari segi istilah, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani. Selain itu, beberapa tokoh Barat juga disebut. Tetapi, apakah hal itu cukup menjadi bukti keterpengaruhan Barat?

Tuduhan lain adalah dengan mengatakan bahwa penafsiran semacam itu dilandasi sikap emosional, penuh prasangka, inferiority complex, dan terburu-buru (Hidayat Nur Wahid, 2000: 34). Sikap tersebut pernah dilontarkan terhadap tulisan Fatimah Mernissi tentang penafsiran feminis mengenai hak-hak wanita dalam Islam (Mernissi dalam Kurzman, 2000) yang mempersoalkan penafsiran hadis misogini: "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan kepada seorang perempuan" (HR Bukhori).

Memang, kajian Mernissi mempunyai kelemahan jika ditinjau dari ’ilm mustholahah al hadist (ilmu telaah hadis). Namun, yang dilakukan Nur Wahid hanya sebatas menelanjangi kekurangan Mernissi tanpa memberikan jawaban yang solutif yang mampu menjawab kebutuhan kaum muslimin dan problematika kontemporer. Padahal, tafsir tidak lahir dari kehampaan, tapi mengejawantah dalam ruang dan waktu tertentu.

Hal itulah yang menuntut kaum muslimin kontemporer merumuskan hermeneutika Qurannya sendiri yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat. Upaya penafsiran ulang tersebut tidak dilakukan untuk memunculkan budaya ekletik (tambal sulam antara budaya Barat dan Islam) yang mencitrakan bahwa Islam kurang memperhatikan keadilan gender.

Sebaliknya, upaya tersebut merupakan pembongkaran terhadap penafsiran, sekali lagi penafsiran teks-teks agama yang lama. Menggunakan metodologi tafsir yang sudah ada secara taken for granted hanya melahirkan sejumlah tautologi yang tidak membuka perspektif baru dan segar untuk dijadikan pegangan kaum muslimin yang hidup dalam masyarakat yang berubah.

Tuntutan zaman memaksa kaum muslimin melakukan upaya-upaya reinterpretasi (cara baca baru) terhadap sistem ajaran keagamaannya yang pada hakikatnya bersumber pada Quran. Dan, Amin al Khuli, seorang guru besar tafsir dari Mesir, menyambut gelombang pembaruan pemikiran Islam tersebut dengan slogan radikal: "Awal suatu pembaruan adalah membunuh pemahaman lama" (Inna awwala tajdid qath al qadim fahman).


*Yusli Effendi, alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, dan kini menjadi koordinator LeSIKA (Lingkar Studi dan Kajian Wacana) Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar

content top